PerempuanLiterasiKetimpanganDigital

Perempuan, Literasi, dan Ketimpangan Digital

Literasi digital seringkali dipahami sebagai kemampuan kritis dalam mengkonsumsi atau memahami informasi dari medium digital/elektronik, atau sebagai bagian dari literasi media. Namun sebetulnya, tidak ada kriteria baku literasi digital, apalagi karena teknologinya berkembang pesat dan makin kompleks. Jumlah data yang diproses pun makin besar. Ponsel saat ini memediasi berbagai aspek kehidupan sehari-hari: mulai dari weker, mengatur janji ketemuan, berkomunikasi dan foto dengan pasangan, keluarga dan orang-orang dekat maupun jauh, urusan kerjaan dan tagihan pelanggan, menghibur diri, mengajukan klaim BPJS, merekam dan menyebarluaskan ke mana kita pergi, mendapatkan ojek, menjual beli barang maupun jasa, dan sebagainya. Dengan banyaknya informasi yang diproses, dan terhubung dengan berbagai gawai dan database lain, tak heran banyak orang merasa kelabakan dengan information overload dan sulit fokus.

Dalam artikel “Tiga Aspek Literasi digital: Mengapa Ponsel Membuat Anda Sulit Fokus,” Sugino mengutip hasil survei CIGI-Ipsos 2016, bahwa “sebanyak 65% dari 132 juta pengguna internet di Indonesia percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa pengecekan ulang lebih dulu.” Sugino kemudian menawarkan perlunya memperhatikan tiga aspek literasi digital: kesadaran data (data awareness), kemampuan analisis data, dan kemampuan untuk fokus (deep work).

Namun, meskipun aspek literasi digital yang dipaparkan Sugino ini penting, perlu ditegaskan bahwa kita perlu berhati-hati untuk tidak memandangnya semata sebagai isu kesadaran dan kompetensi pribadi.

Memandang literasi digital semata sebagai kompetensi beresiko menyederhanakannya sebagai masalah pribadi dan bukannya masalah struktural.

Dengan kata lain, pandangan ini beresiko melihat bahwa kalau kamu terkena misinformasi, disinformasi, mudah terdistraksi atau data pribadimu tersebar tanpa sepengetahuanmu, itu salahmu sendiri: karena kamu kurang kompeten, tidak berpikir kritis, tidak disiplin. Padahal, tidak selalu ini sepenuhnya tanggungjawab pengguna. Yang perlu kita cermati juga dalam pengembangan literasi digital adalah bagaimana struktur sosial, ekonomi, politik, dan teknologi menciptakan kondisi tersebut.

Mari kita lihat bagaimana teknologi dan infrastruktur berperan. Dalam hal terdistraksi, kecanduan dan sulit fokus, nyatanya ponsel dan media sosial memang seringkali dirancang oleh pembuatnya untuk membuat kecanduan (addiction by design). Facebook, misalnya, dalam catatan internalnya jelas mengetahui bahwa anak-anak dan orangtuanya tidak menyadari bahwa dalam banyak kliknya, mereka sedang melakukan berbagai pembelian—sesuatu yang baru mereka sadari belakangan ketika tagihan kartu kredit datang membengkak. Meskipun tahu bahwa penipuan sering terjadi, Facebook toh mendorong pengembang aplikasi untuk sengaja mengaburkan proses pembelian tersebut, mengatakannya sebagai “friendly fraud (penipuan ramah)” (Halverson 2019). Belum lagi berbagai penyalahgunaan, pelanggaran privasi, dan penyimpanan kata sandi dan data pribadi pengguna dengan tidak aman yang dilakukan oleh Facebook (Newman 2018)—sesuatu yang cukup umum dan pernah dilakukan juga oleh platform besar seperti Go-Jek, LinkedIn, BukaLapak.

Tak heran, banyak petinggi perusahaan teknologi sendiri sangat ketat membatasi penggunaan media sosial mereka. Steve Jobs, yang lama menjadi CEO Apple, menyatakan bahwa dia sangat membatasi penggunaan iPhone dan iPad anak-anaknya. Mark Zuckerberg, CEO Facebook, menugaskan beberapa asisten pribadi untuk menangani akun Facebooknya. Banyak dari mereka mengirim anak-anaknya ke sekolah elit di mana tablet dan ponsel tidak boleh digunakan. Jelas, mereka sendiri sangat memahami dampak buruk teknologi yang mereka buat (lihat Ledger of Harms, Center for Humane Technology 2018).

Namun bagaimana dengan orang yang tidak memiliki asisten pribadi, misal perempuan yang harus meng-update media sosial toko onlinenya dan menangani japri sembari mengurus anaknya tak mau berhenti menangis kecuali ketika ditenangkan dengan ponsel atau tablet—yang memang dirancang dengan canggih untuk membuat anak-anak maupun dewasa kecanduan?

Ketimpangan digital

Semakin lama, apalagi dengan makin banyaknya orang terhubung ke internet, dan makin banyaknya urusan pekerjaan, kesehatan, pembayaran tagihan dilakukan online seiring dengan digenjotnya sistem e-government dan banjir notifikasi, kesenjangan digital (digital divides) bukan semata mengenai mereka yang terhubung ke komputer dan internet dengan yang tidak. Namun juga mengenai siapa yang mempunyai cukup sumber daya untuk bisa menentukan, mengendalikan kegiatan dan datanya online (Susaria 2019). Pada kenyataannya, banyak orang tidak memiliki sumber daya dan modal ekonomi, pendidikan, akses teknologi yang kita nikmati.

Misalnya, ada jutaan orang, di Indonesia dan juga negara-negara lainnya, yang mengatakan mereka menggunakan Facebook, tapi tidak sadar bahwa mereka menggunakan internet (Mirani 2015). Sebelum kita tertawa menghakimi atau meledek, perlu diingat bahwa untuk banyak pengguna, terutama dari kelas sosial ekonomi lemah, akses internet ke paket data murah hanya sebatas Facebook (atau WhatsApp, Instagram, yang sama-sama dimiliki Facebook) dan beberapa situs atau aplikasi lainnya. Ada juga peran operator telko. Internet.org buatan Facebook bekerjasama dengan operator-operator besar seperti Telkomsel, Indosat, 3, untuk memberi akses internet “gratis” tanpa enkripsi SSL—yang berarti data pribadi kita, termasuk kata sandi, dapat dengan mudah dibaca dan dipertukarkan—ke Facebook dan beberapa situs seperti Tokopedia, KapanLagi, OLX. Operator menawarkan paket-paket data murah khusus untuk Instagram atau YouTube saja. Dalam kondisi seperti itu, memverifikasi informasi di situs lain seperti Google, Wikipedia, apalagi jurnal ilmiah dan sebagainya, jelas tidak mudah dan membutuhkan ongkos tambahan yang tidak semua orang mampu luangkan.

Sekarang mari kita lihat lebih jauh bagaimana kondisi sosial ekonomi berperan. Dalam tulisannya “Para Ibu yang Terabaikan Dalam Pusaran Hoaks,” Karlina Octaviany (2019) memaparkan bagaimana banyak ibu-ibu di Jakarta tidak tahu apa itu peramban (browser), “tidak mengerti paket data, cara koneksi WiFi kelurahan, sulit mengetik di layar sentuh, hingga tidak mengetahui ada menu internet selain media sosial. . . Jangankan bicara keamanan data, kontrol atas akses media sosial pun seringkali bukan di tangan ibu sebagai pemilik akun. Para ibu kerap dibuatkan akses masuk ke Facebook oleh sang anak.”

Sejujurnya saya sering menjumpai kasus serupa di Surabaya, dan tidak melulu di kalangan ibu-ibu—bapak-bapak dan anak muda juga. Tidak semua anak muda atau millenial otomatis menjadi digital native1, terutama mereka dari ekonomi lemah yang baru pertamakali membeli HP. Tidak selalu anaknya juga yang mengajari—seringkali penjual HP yang menyiapkan setelan ketika orang pertama kali membeli HP dengan kebingungan, memasukkan sembarang email dan kata sandi.

Dalam hal ini, selain dimensi ketidakadilan gender yang membuat perempuan habis waktunya karena harus menanggung kerja-kerja domestik, modal ekonomi dan akses informasi juga berperan besar dalam ketimpangan literasi. Ibu rumah tangga yang bekerja mengelola berbagai akun media sosial (entah untuk berjualan, atau sebagai “mimin”, content creator, buzzer, social media strategist, dan sebagainya) mungkin akan memiliki pengalaman berbeda. Barangkali dia tahu apa itu browser dan paket data, tapi mungkin tak punya banyak waktu untuk melakukan verifikasi karena harus disambi melakukan kerja-kerja domestik seperti menjaga anak, memasak, dan sebagainya. Atau mungkin dia melakukan verifikasi melalui media yang dia percaya, yang belum tentu sama dengan kita. Situasi menjadi semakin rumit ketika media-media utama semakin terkonsentrasi ke tangan segelintir perusahaan dan pemodal yang terkait dengan partai politik (Tapsell 2018). Tak heran, orang pun banyak yang sangsi dan tidak percaya pada media-media besar, dan mempercayai media komunitasnya—yang bisa jadi menurut kita “abal-abal” (lihat paradoks literasi media ini di boyd 2017).

Yang perlu digarisbawahi, sistem otomasi, kode, algoritma, seperti semua teknologi, tidaklah netral. Teknologi dibuat oleh manusia, dan karenanya memuat bias dari pemikiran, norma, dan kebijakan yang berlaku. Sudah ada banyak berita dan kajian yang memaparkan diskriminasi algoritma, bagaimana algoritma otomasi meneruskan, memperparah bias yang ada di masyarakat, termasuk seksime, rasisme (Matsakis 2018), dan memperlebar jurang kesenjangan kelompok ekonomi lemah dan marjinal—bahkan “mengotomasi ketidaksetaraan” (Eubanks 2018). Ini bukan berarti kita menolak otomasi atau teknologi digital. Namun literasi perlu dikembangkan dengan pemahaman dimensi struktural yang menciptakan konteks berbeda-beda untuk tiap orang dan kelompok.

Perempuan dan literasi digital

Bagaimana dengan perempuan? Apakah perempuan tidak cocok bekerja di teknologi karena lebih gaptek atau tidak kompeten dalam teknologi digital? Jelas tidak! Ada banyak perempuan yang bekerja dalam—dan mempelopori—teknologi informasi, tetapi dipersulit oleh berbagai norma dan kebijakan patriarkis, dan dihilangkan dari sejarah. Kita tahu perempuan-perempuan pelopor teknologi seperti Ada Lovelace, pencipta program komputer pertama di abad ke-19; Hedy Lamarr, penemu teknologi frequency hopping pada zaman Perang Dunia yang digunakan sebagai dasar teknologi bluetooth; Katherine Johnson yang menangani berbagai kalkulasi rumit NASA dan banyak perempuan “human computer” lainnya.

Saat ini bidang IT didominasi laki-laki dan perempuan terlihat hanya segelintir. Namun sebagaimana digambarkan dalam buku dan film Hidden Figures, mayoritas programmer komputer dulu adalah perempuan—bahkan istilah “komputer” pada zaman dahulu merujuk ke ratusan, ribuan perempuan komputer hidup ini (Light 1999). Namun mereka dipersulit dan direndahkan oleh berbagai norma, protokol, kebijakan yang patriarkis, di mana laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah, sementara tanggungjawab kerja domestik mengurus rumah dan anak sepenuhnya diserahkan ke perempuan.

Berbeda dengan laki-laki, banyak perempuan berbakat ini tidak menerima pengakuan dan imbalan yang layak atas kerjanya, atau dihilangkan dari sejarah. Baru beberapa tahun ini prestasi “figur-figur tersembunyi” ini mulai digali dan dimunculkan. Lebih menyedihkan lagi, kebanyakan harus mengakhiri karirnya ketika mereka hamil atau punya anak—entah karena diberhentikan kerja, tidak ada cuti hamil, dan tidak adanya kebijakan tempat kerja yang mendukung melanjutkan kerja sementara mereka dituntut untuk menangani urusan domestik rumah tangga (Abbate 2012).

Ini tidak hanya merugikan perempuannya sendiri, tetapi juga menghambat kemajuan teknologi. Inggris, yang pada zaman perang dunia II berada di posisi terdepan dalam teknologi komputer—Inggris adalah negara pertama yang merakit dan menggunakan komputer digital, elektronik sebelum projek ENIAC fungsional di Amerika—kehilangan posisi terdepannya karena banyak talenta komputer perempuan yang mereka singkirkan dan mereka memilih untuk merekrut ulang laki-laki (Hicks 2017). Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan besarnya potensi industri komputer, perempuan semakin dipinggirkan dari bidang ini. Beberapa jurusan ilmu komputer mulai dibuka di universitas-universitas Ivy League bergengsi di Amerika di tahun 1960an, di mana saat itu perempuan tidak diperbolehkan masuk (Ensmenger 2010).

Saat ini, isu ketimpangan gender dalam bidang teknologi informasi makin sering disorot, dan makin banyak digalang program yang mengajarkan literasi, digital marketing dan programming ke perempuan. Meskipun bertujuan baik, jika penerapannya tetap dengan norma dan kebijakan patriarki, maka program-program ini beresiko malah menambah tanggungjawab dan beban kerja perempuan.

Misalnya, tentu, dapat berjualan di media sosial atau toko online bisa menambah penghasilan, tapi juga ada ongkos dan kerja tambahan. Siapa yang akan menanggung kerja tambahan tersebut? Apakah selain menjadi customer service melayani japri pelanggan, membuat foto dan video promo, membungkus dan mengirimkan paket ke kurir, mencek tagihan dan pembayaran, dan sebagainya—perempuan masih tetap dituntut menjadi satu-satunya yang bertanggungjawab atas kerja-kerja domestik seperti membersihkan rumah, mengasuh dan mengajari anak literasi digital?

Pelatihan coding sekarang pun makin semarak, banyak yang khusus untuk perempuan, apalagi dengan semakin digenjotnya industri digital di Indonesia. Namun pertanyaannya: apakah menguasai coding menjamin peningkatan penghasilan atau kesejahteraan? Atau, untuk memplesetkan judul buku Muhtar Habibi (2016), akan meningkatkan surplus pekerja dalam kapitalisme digital pinggiran, dengan jumlahnya membludak dan daya tawar rendah?

Literasi digital, karenanya, tidak dapat dilihat sekedar sebagai kompetensi individu yang perlu ditingkatkan untuk menyelesaikan berbagai masalah—tetapi perlu dikembangkan dengan kesadaran akan struktur sosial, ekonomi, politik, dan teknologi yang membentuknya. Untuk memplesetkan satu judul buku Paulo Freire dan Daniel Macedo (1987) tentang literasi: literasi digital bukan hanya membaca data, tapi juga membaca dunia.

Artikel ini diterbitkan di majalah e-Kombinasi no. 73 yang diterbitkan oleh COMBINE Resource Institute. PDF edisi ini dapat dibaca online di: https://www.combine.or.id/archive/73

Referensi

BBC News, 19 Mei 2015. “Protest grow against Facebook’s Internet.org” https://www.bbc.com/news/technology-32795270

boyd, danah. 2014. It’s Complicated: The Social Lives of Networked Teens. New Haven and London: Yale University Press.

boyd, danah, “Did Media Literacy Backfire?” Data & Society Points, 5 Januari 2017. https://points.datasociety.net/did-media-literacy-backfire-7418c084d88d

Center for Humane Technology, “Ledger of Harms”, terakhir diperbaharui 14 Desember 2018 https://ledger.humanetech.com/

Ensmenger, Nathan L. 2010. The Computer Boys Take Over: Computers, Programmers, and the Politics of Technical Expertise. Cambridge & London: The MIT Press.

Eubanks, Virginia. 2018. Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police and Punish the Poor. New York: Macmillan.

Freed, Diana, Jackeline Palmer, Diana Minchala, Karen Levy, Thomas Ristenpart, and Nicola Dell. 2018. “‘A Stalker’s Paradise’: How Intimate Partner Abusers Exploit Technology.” Proceedings of the ACM SIGCHI Conference on Human Factors in Computing Systems (CHI 2018).

Freire, Paulo, and Donaldo Macedo. 1987. Literacy: Reading the Word and the World. London & New York: Routledge.

Halverson, Nathan, “Facebook knowingly duped game-playing kids and their parents out of money,” Reveal News, The Center for Investigative Reporting, 24 Januari 2019 https://www.revealnews.org/article/facebook-knowingly-duped-game-playing-kids-and-their-parents-out-of-money/.

Hern, Alex, “‘Never get high on your own supply’ – why social media bosses don’t use social media,” The Guardian, 23 Januari 2018.

Hicks, Marie. 2017. Programmed Inequality: How Britain Discarded Women Technologists and Lost Its Edge in Computing. Cambridge & London: The MIT Press.

Hicks, Marie. 2019. “How To Kill Your Tech Industry,” Logic vol. 5. https://logicmag.io/05-how-to-kill-your-tech-industry/

Light, Jennifer S. 1999. “When Computers Were Women.” Technology and Culture 40 (3): 455–83.

Microsoft Digital Literacy Standard Curriculum version 4. https://www.microsoft.com/en-gb/digitalliteracy/curriculum4.aspx

Matsakis, Louise, “What does a fair algorithm actually look like?” Wired, 10 November 2018 https://www.wired.com/story/what-does-a-fair-algorithm-look-like/

Mirani, Leo. 2015. “Millions of Facebook Users Have No Idea They’re Using the Internet.” Quartz. http://qz.com/333313/milliions-of-facebook-users-have-no-idea-theyre-using-the-internet/.

Mozilla, Internet Health Report 2019. https://internethealthreport.org/2019

Octaviany, Karlina. “Para Ibu yang Terabaikan dalam Pusaran Hoaks,” Remotivi, 13 Februari 2019 http://www.remotivi.or.id/amatan/511/Para-Ibu-yang-Terabaikan-Dalam-Pusaran-Hoaks

Polimpung, Hizkia Yosias, “Teknopolitika Kemudahan Hidup,” Indoprogress, 4 Juni 2018 https://indoprogress.com/2018/06/teknopolitika-kemudahan-hidup/

Susaria, Anjana. 17 April 2019. “The new digital divide is between people who opt out of algorithms and people who don’t,” The Conversation. https://theconversation.com/the-new-digital-divide-is-between-people-who-opt-out-of-algorithms-and-people-who-dont-114719

Tapsell, Ross. 2018. Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Serpong: Marjin Kiri.

Tarnoff, Ben. 21 Sep 2017. “Tech’s push to teach coding isn’t about kids’ success – it’s about cutting wages,” The Guardian.

1Asumsi bahwa anak muda selalu lebih paham teknologi ini sudah banyak dibantah dalam berbagai kajian literasi digital. Lihat boyd (2014, bab 7), Polimpung (2018).


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *